Senin, 11 April 2011

AKSI CORAT-CORET DAN MAKNA KELULUSAN
Oleh Yeny Yulizah, ST

Pancasila merupakan cermin sikap dan perilaku bangsa Indonesia yang begitu dibanggakan sejak sebelum kemerdekaan. Pada saat ini, pemahaman dan aplikasi terhadap jiwa Pancasila perlahan mulai redup, semakin banyaknya orang-orang yang tidak lagi tahu dan ingin tahu, apa itu “PANCASILA”, yang lebih mengkhawatirkan lagi mulai tumbuh rasa malu untuk tahu pancasila. Hal ini diperparah, dengan masuknya budaya-budaya barat yang dianggap lebih modern oleh masyarakat kita. Dari mode berpakaian, gaya makanan yang di konsumsi, musik, bahkan sikap dan perilaku yang menganut azas liberal barat, sangat diminati oleh bangsa kita. Sangat jarang dijumpai pada tayangan sinetron televisi atau film produksi dalam negeri, artis dan aktornya memiliki wajah-wajah asli Indonesia; kulit sawo matang, rambut hitam dan wajah lonjong telur, tetapi yang kita jumpai adalah wajah-wajah artis atau aktor yang Indo kebarat-baratan, yang lebih lucu lagi para orang tua sangat berharap memiliki keturunan berwajah INDO kebarat-baratan.
Salah satu sifat yang di serap dari dunia barat tanpa filterisasai oleh bangsa kita, adalah sifat apatis dan mengarah ke tindakan yang anarkis, sifat seperti ini kebanyakan didapat oleh bangsa kita dari tayangan film atau sinetron televisi, yang hanya memikirkan keuntungan yang didapat tanpa memikirkan dampak yang diberikan. Tindakan-tindakan anarkis semakin marak dipertontonkan ke masyarakat umum seolah pelaku bangga melakukan tindakan tersebut, salah satu tindakan anarkis yang dilakukan baru-baru ini, adalah tindakan Demontrasi yang tak memakai aturan yang dilakukan mahasiswa menentang kenaikan BBM.
Pancasila sangat menjunjung tinggi sikap dan perilaku baik yang menciptakan etika dan moralitas bangsa yang baik pula. Ada banyak etika dalam kehidupan berbangsa; etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan. Pada artikel ini penulis menghubungkan pelanggaran etika sosial budaya dengan aksi kebut-kebutan dan corat-coret seragam sekolah yang dilakukan oleh para siswa pada saat pengumuman kelulusan.
Pada hari Sabtu, tanggal 15 Juni 2007, tepat pukul 11.30 WIB, terdengar dengungan kompoi sepeda motor anak-anak Sekolah Menengah Atas, yang kebut-kebutan dijalan umum sambil berteriak-teriak, “aku lulus, aku lulus, aku lulus.....” seolah ingin memberiahukan kepada semua orang bahwa mereka bangga dan mampu menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas. Bukan hanya itu aksi yang mereka lakukan, tradisi corat-coret seragam sekolah, wajah dan rambut mereka juga tak luput dari tindakan-tindakan pada hari itu, yang secara totalitas merupakan luapan kegembiraan yang sangat membanggakan bagi pribadi mereka.
Bayangkan kelulusan anak-anak SMA tersebut, sangatlah fantastis. Ditengah tuntutan Pemerintah khususnya bidang Pendidikan, yang memberikan standar kelulusan yang sangat tinggi, yaitu mencapai angka rata-rata 5,25, mereka mampu menyabet gelar “LULUS”, sungguh fantastis. Tidak hanya itu hampir seluruh Sekolah menyatakan bahwa siswa-siswi mereka lulus 100%. Walaupun di indikasi banyak sekali ketimpangan-ketimpangan pada proses Ujian Nasional yang sering kita dengar dan lihat dari Televisi maupun pemberitaan di media massa.
Calon-calon intelektual ini tidak menyadari bahwa tindakan mereka mengarah ke tindakan yang anarkis, bertentangan dengan norma-norma Pancasila, bertentangan dengan akhlak dan bertentangan dengan etika serta moralitas yang diajarkan selama di Sekolah. Dari tindakan tersebut mencerminkan seolah mereka belum pernah mendapatkan pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila dan agama. Manusia yang paling merasa gagal atas tindakan mereka adalah GURU, yang telah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada mereka selama kurang lebih 15 tahun sampai LULUS Sekolah Menengah Atas.
Idealisme para guru berdegup kencang, emosi dan amarah menjadi satu, karena menyaksikan secara langsung perilaku siswa-siswi tersebut. Selama para guru mengajar dan mendidik siswa mereka, selau memberikan nasehat, pesan bahkan kritikan kepada siswa dan siswi agar mereka mempunyai etika dan moral yang baik, hal ini dilakukan agar dapat menciptakan calon-calon pemimpin yang memiliki akhlak, sikap, perilaku dan moral yang baik, sehingga dapat memimpin negeri ini kearah yang baik dan lebih baik lagi. Tapi harapan-harapan itu terasa hancur dengan peristiwa dan aksi yang telah di lakukan oleh anak didik mereka..
Perasaan seperti ini juga muncul dari dalam hati orang tua mereka, yang menghidupi dan membiayai anak-anaknya, dengan susah payah, ditengah tingginya harga barang, kenaikan BBM dan penghasilan yang tidak mencukupi, mereka tetap berjuang memaksakan diri untuk terus memberikan pendidikan untuk anak-anaknya, agar dapat hidup lebih baik kelak. Tetapi hati para orang tua pun kecewa melihat tindakan anak-anak mereka yang melakukan aksi kebut-kebutan dan corat-coret.
Aksi kebut-kebutan dan corat-coret seragam sekolah tersebut termasuk kedalam perbuatan yang mengarah pada kenakalan remaja yang disebabkan remaja tersebut masih berada pada tahap Pubertas, yang dapat dicirikan dengan sikap ingin selalu menonjolkan perbuatan-perbuatan, sikap, perasaan dan kehendak. Sikap remaja yang menonjol pada periode ini, antara lain; suka menantang orang tua, terombang-ambing, berperilaku tidak sopan, kurang hati-hati, malas bekerja, suka membicarakan orang lain dan cepat tersinggung.
Mungkin para siswa-siswi ini lupa, makna etika dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat. Etika merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa, yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa tersebut sangat mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga negara. Jadi sangat jelas sekali tindakan yang siswa dan siswi lakukan sangat bertentangan dengan nilai-nilai etika dan moralitas.
Tentunya masyarakat, terutama para pendidik akan sangat bangga dan bahagia, apabila para siswa-siswi tersebut, mengungkapkan rasa senang mereka dengan melakukan tindakan yang menghasilkan pahala yang sangat besar, misalnya; dengan mengumpulkan seragam sekolah yang di kemudian hari hanya akan memenuhi lemari pakaian, untuk diberikan ke salah satu Panti Asuhan di Kota anda, atau dengan memberikan seragam itu kepada sanak keluarga yang membutuhkan. Bukankah tindakan seperti ini yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moralitas yang sesungguhnya.
jika hanya persoalan ingin punya kenang-kenangan pada saat kelulusan, cobalah buat buku alumni yang berisi biodata dan foto seluruh siswa yang lulus, para guru dan kepala sekolah. Jika terlalu mahal, kita dapat membeli satu buku khusus, untuk diberikan kepada teman-teman, guru dan Kepala sekolah sehingga isinya menyamai buku alumni, bukankah hal seperti ini lebih berguna dan dapat dibaca jika kelak anda merindukan teman-teman semasa SMA.
Semoga dengan diterbitkan artikel ini, para siswa-siswi yang telah menyabet gelar ”LULUS” dapat lebih memahami makna dari arti LULUS yang sesungguhnya, perjuangan anda tidak sampai disini, masih banyak peristiwa yang akan anda alami dalam menjalankan roda kehidupan. Ingatlah selalu, kita adalah orang timur berbangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Dan yang takkala penting, kita hidup harus bermakna, selalu melukiskan tinta-tinta keindahan dalam setiap tindakan yang normatif, sehingga dapat menaikkan harga diri dan martabat pribadi.
Penulis adalah
Guru SMA Negeri 5 Lubuklinggau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar